TEMPO Interaktif, Jakarta - Seribu akal telah dicoba Anita Iriani, 32 tahun, untuk membuat anaknya memiliki nafsu makan. Meski beberapa cara efektif membuat Salma, 2 tahun, buah hati Anita, minta untuk disuapi, namun belum juga sesuai dengan yang ditargetkan Anita. "Salma harusnya memiliki berat badan 12 kilogram, sekarang baru 11 kilogram," ujar Anita
Sedari kecil Salma memang tergolong anak yang mudah diberikan makan karena Anita selalu melakukan tips yang disarankan dokter ataupun temannya. Namun, saat usianya 13 bulan, Salma terkena sakit Campak Jerman dan DBD. Hal ini kontan membuat napsu makannya turun drastis. Berat badan Salma akhirnya tetap menyentuh 9 kilogram hingga usia 21 bulan, padahal seharusnya mencapai 11 kilogram. "Berdasarkan tes medis, dia terkena flek paru-paru yang memengaruhi napsu makannya," ungkap Anita. "Setelah diobati, napsu makan Salma pun berangsur meningkat," kata Anita.
Untuk tetap membuat Salma mudah diberi makan, Anita berkreasi dengan memberikan temulawak setiap pagi dan merumuskan kegiatan saat makan agar Salma tidak bosan. Kadang sambil nonton kartun Pocoyo, sambil naik odong-odong, naik sepeda, ataupun belajar. "Pokoknya dia harus dialihkan perhatiannya karena anaknya memang cepat bosan," kata Anita.
Tidak hanya Anita, sebagian besar kaum ibu memang memiliki masalah yang hampir sama mengenai anaknya yang masih kecil. dr. Damayanti Rusli Sjarif SpA(K), Ketua UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik IDAI, mengatakan kegiatan makan sangat kompleks, melibatkan fisik, psikologik, dan lingkungan.
Perlu diingat bahwa kesalahan manajemen makanan sewaktu bayi dapat menyebabkan malnutrisi dan berdampak lebih parah dibandingkan dengan kekurangan pengelolaan makanan pada usia selanjutnya. Dan berdasarkan data Global Strategy for Infant and Young Child Feeding (GSIYCF) WHO 2003 menunjukkan 60 persen kematian anak di bawah lima tahun disebabkan malnutrisi dan 2/3 nya berhubungan dengan inapropriate feeding practise selama satu tahun di awal kehidupan bayi.
Susah makan pada anak terutama batita kemungkinan besar disebabkan oleh cara pemberian makan pertama yang kurang sempurna sehingga memengaruhi kemampuan oromotornya.
Bayi yang baru lahir tidak dapat memfokuskan, baik mata maupun tangannya, ke sumber makanan. Perabaan pada pipi dan daerah sekitar mulut merangsang refleksnya untuk mengarahkan mulut ke puting susu atau dot dan selanjutnya melakukan gerakan menghisap. Hal ini membuat bayi terbiasa refleks untuk menghampiri makanan yang datang dari sendok.
Selain itu, pada lima bulan pertama, bayi biasanya memasukkan tangan ke dalam mulut. "Ini jangan dicegah karena akan melatih dan mempersiapkan bayi untuk mengolah makanan padat," kata Damayanti.
Kemampuan bayi pada usia tersebut adalah menelan makanan cair, yaitu ASI, tetapi mendorong makanan padat. Jika bayi dilarang untuk memasukkan tangannya ke mulut, maka refleks menjulurkan lidah (ekstrusi) nantinya tidak akan berkurang.
Akhirnya, membuat makanan padat spontan ditolak dan dimuntahkan oleh bayi, padahal saat umur 6 bulan bayi sudah harus dikenali Makanan Pendamping ASI (MPASI) dan masuk pada fase kritis pertama. Bit, wortel, bayam, lobak pun tidak boleh diberikan kepada bayi di bawah 6 bulan karena kandungan nitrat yang tinggi.
Inilah yang terkadang membuat anak kebiasaan menolak makanan dan akhirnya terbawa susah makan untuk selanjutnya. "Jangan memakaikan anak Anda sarung tangan, cukup jamin tangan anak Anda bersih," tutur Damayanti.
MPASI dibutuhkan karena adanya kekurangan energi kebutuhan anak dengan ketersediaan ASI oleh ibu. Tahap awal mengetahui bayi sudah dapat dikenalkan makanan semi padat jika bayi sudah dapat duduk, kedua tangan dapat menggenggam benda dan memasukkannya ke dalam mulut.
MPASI yang diberikan adalah tepung beras yang kaya akan zat besi, dengan satu jenis bahan makanan terlebih dahulu, diberikan setelah minum ASI, lembut, halus, masih encer. Pemberian makanan lebih baik kurang dari setengah jam dan mulai dari takaran yang sedikit kemudian meningkat.
Menurut Damayanti, keterlambatan pada fase ini menyebabkan potensial untuk terjadinya gagal tumbuh, defisiensi zat besi, gangguan tumbuh-kembang. Sementara, jika terlalu cepat akan berisiko diare, dehidrasi, produksi ASI menurun, sensitisasi alergi, serta gangguan tumbuh-kembang.
Selanjutnya, 7-9 bulan, bayi masuk pada fase kritis kedua untuk mengenalkan bayi makanan semi padat yang lebih bertekstur yang memerlukan keterampilan mengunyah. Pada 9-12 bulan, bayi sudah terampil mengunyah, memegang benda dengan jari, dan minum gelas, namun tidak boleh diberikan madu. Pada usia 1 hingga 3 tahun anak dapat makan sendiri.
Pola makan yang baik diawali ASI atau susu pada pagi hari, sarapan dengan bubur, makanan selingan dari buah dan roti, makan siang, susu, makanan selingan pada sore hari, makan malam, dan susu. "Anak usia lebih dari 1 tahun normalnya bertambah 2 kilogram setiap tahun," tandas Damayanti.
"Selain jenis makanan, kualitas nutrisi baik berupa kecukupan energi maupun semua nutrisi sesuai umur juga tak kalah penting," kata Damayanti. Proses pengolahan seperti pemasakan yang menggunakan proses panas dapat menghilangkan sebagian maupun semua nutrisi yang dibutuhkan bayi dari makanan tersebut.
Misalnya, kekurangan zat besi pada makanan padat yang tidak difortifikasi akan menyebabkan anemia zat besi yang selanjutnya berdampak negatif terhadap kekebalan dan kecerdasan otak. Jumlah masukan makanan sebagai sumber energi dan protein yang berkurang untuk jangka panjang, mungkin mengakibatkan hambatan pertumbuhan dan perkembangan yang pada masa bayi yang lazim disebut gagal tumbuh.
RENNY FITRIA SARI
Dikutip dari : TEMPO Interaktif,.
0 comments:
Post a Comment